Senin, 05 Mei 2014

KEWARGANEGARAAN ORANG ‘CINA’ PERANAKAN

KEWARGANEGARAAN ORANG ‘CINA’ PERANAKAN KEWARGANEGARAAN ORANG ‘CINA’ PERANAKAN Orang-orang ‘Cina’ peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang ‘Cina’, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan ‘Cina’ dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina, dan lain sebagainya. Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan ‘Tionghoa’ di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu ‘sreg’ dengan sebutan ‘Tionghoa’ itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia keturunan ‘Cina’. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu malah lebih ‘distingtif’ atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan dengan kelompok masyarakat di luar keturunan ‘Cina’. ‘Tiongkok’ atau ‘Tionghoa’ itu sendiri mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan negara-negara di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah ‘Cina’ yang dianggap cenderung ‘merendahkan’ dengan perkataan ‘Tionghoa’ yang bernuansa kebanggaan bagi orang ‘Cina’ justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain, penggunaan istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri juga dapat direspons sebagai ‘kejumawaan’ dan mencerminkan arogansi cultural atau ‘superiority complex’ dari kalangan masyarakat ‘Cina’ peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan mengenai adanya ‘superiority complex’ penduduk keturunan ‘Cina’ dipersubur pula oleh kenyataan masih diterapkannya sistem penggajian yang ‘double standard’ di kalangan perusahaan-perusahaan keturunan ‘Cina’ yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis ‘Cina’. Karena itu, penggunaan kata ‘Tionghoa’ dapat pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang menghambat upaya pembauran tersebut. Oleh karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan ‘Cina’ dan warga keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat non-diskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu lagi menyebut dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja warga keturunan yang lahir di Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka dapat mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan. Proses pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan pergaulan antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu dikembangkan dengan cara asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga pendidikan, medium pemukiman, medium perkantoran, dan medium pergaulan social pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan pendidikan dan perkantoran tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis. Lembaga lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan bagi berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang melibatkan pihak etnis keturunan ‘Cina’ dengan etnis lainnya. Jika seandainya semua orang melakukan perkawinan bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa setelah satu generasi atau setelah setengah abad, isu etnis ini dan apalagi isu rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di persada nusantara ini. sumber: http://www.unhcr.or.id/id/siapa-yang-kami-bantu/orang-orang-tanpa-kewarganegaraan http://akudanremajaindonesia.blogspot.com/2014/05/kewarganegaraan-orang-cina-peranakan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar