Senin, 04 Januari 2016

DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME

Prasangka
Prasangka (prejudice) diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu. Baha arab menyebutnya “sukhudzon”. Orang, secara serta merta tanpa timbabang-timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk. Dan disisi lain bahasa arab “khusudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Diskriminasi
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia,
Ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliranpolitik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi.
Diskriminasi dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
2. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan
Perbedaan Prasangka dengan Diskriminasi
Prasangka menunjukkan pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Menurut Morgan (1966) sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik secara positif atau negarif terhadap orang, obyek atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui setelah ia bertindak atau beringkah laku. Sikap negatif disebut juga prasangka, walaupun sikap prasangka juga bisa bersifat positif dalam kondisi tertentu. Dalam pengertian ini, sikap prasangka lebih cendrung ke arah negatif karena pengaruh dari faktor lingkungan, sikap dan ego yang tinggi, serta mudah terprovokasi dengan orang lain tanpa ada bukti yang jelas, dan hanya bisa berprasangka dengan orang lain. Seseorang yang mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya, akan tetapi seseorang bertindak diskriminatif tanpa berlatar belakang pada suatu prasangka. Sikap berprasangka jelas tidak adil, karena sikap yang diambil hanya berdasarkan pada pengalaman atau apa yang didengar. Apabila muncul sikap berprasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, maka akan terjaadi pertenangan sosial yang lebih luas yang akan berdampak buruk bagi lingkungan sekitar dan kerugian yang cukup besar dalam berbagai aspek.
Berita Diskriminasi
Keselamatan dan keamanan sudah sepatutnya menjadi prioritas di sekolah. Namun ironi muncul ketika seorang gadis tunanetra dilarang membawa tongkat jalannya ke sekolah karena alasan 'keselamatan dan keamanan'. Lily-Grace Hooper (7), terserang stroke saat masih berusia 4 hari, yang sekaligus merenggut penglihatannya. Sehari-hari, Lily-Grace perlu menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.
Namun pihak sekolah SD Hambrook, Bristol, telah melarang membawa tongkat jalannya ke sekolah dengan alasan membuat guru dan murid di sekolahnya tersandung-sandung. Melalui, Telegraph, Rabu (18/11/2015), pihak sekolah menganggap tongkat jalan miliknya membahayakan orang-orang di sekitarnya. Mereka berpendapat gadis cilik itu sebaiknya dituntun oleh setiap saat oleh seorang dewasa setiap saat.
Kabar itu membuat ibunya kecewa yang menganggap putrinya tidak akan bisa mandiri. menurutnya, kawalan dari orang dewasa akan membuat putrinya dijauhi anak-anak lain. Mendekati Natal tahun lalu, ia menggunakan gulungan bekas kertas panjang untuk membantunya berjalan di rumah. Ketika ia meminta ibunya untuk sebuah tongkat, Yayasan Common Sense Cane memberikan tongkat jalan fiber khusus untuknya pada awal tahun ini.
Lily-Grace dan ibunya, Kristy. (foto: SWNS)
Lily-Grace pun mulai menggunakan tongkat pada bulan April. Ibunya, Kristy Hooper mengungkapkan bahwa tongkat itu sudah menjadi 'tangan tambahan' putrinya dan penggunaannya menjadi vital. Kristy menyatakan, "Ia memiliki disabilitas, namun saya tidak ingin menganggapnya kekurangan, dan melatihnya mandiri. Saat sekolah melarangnya untuk membawa tongkatnya ke sekolah, saya berpikir ini peraturan kesehatan dan keamanan yang kacau."
"Ia tidak pernah punya masalah dengan murid lain, dan tidak ada orang tua yang mengeluh. Faktanya, mereka semua sangat suportif.
"Saya tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh pihak sekolah. Lily-Grace sangat menyukai tongkatnya, dan ia membutuhkannya untuk pergi ke sekolah, berjalan ke taman bermain, dan beraktivitas di sekolah," ai menambahkan.
"Saya betul-betul marah. Bagaimana dengan kesehatan dan keamanan anak saya? Saya menganggap sekolah baik, namun saran ini sungguh buruk."
Kristy menyatakan, "Sangat menggelikan. Jika Anda mengambil tongkat jalan dari tunanetra dewasa, Anda akan menyebutnya diskriminasi. Ini sama saja."
Kristy mengungkapkan tongkat yang digunakan Lily-Grace membantunya mandiri. (foto: bristolpost.co.uk)
Sarah Murrat, penemu Common Sense Canes, menyatakan, "Saya sangat mendukung Kristy, dan yang dihadapinya dari sekolah adalah omong kosong. Anak-anak perlu belajar mandiri, dan mereka perlu mulai sejak usia muda."
"Saya mendengar mengenai alasan kesehatan dan keamanan ini, dan tidak tahu apa yang dipikirkan sekolah. Mengapa Anda mengambil tongkat jalan dari anak kecil?"
Ia menambahkan bahwa tongkat untuk Lily-Grace lebih panjang dari tongkat biasa, dan lebih ringan, sehingga cocok untuk anak-anak.
Blind Children UK, yayasan utama bagi anak-anak dengan gangguan penglihatan menyatakan, pentingnya anak-anak belajar mandiri sejak kecil.
Seorang jubir mengatakan, "Menggunakan tongkat mengajarkan seorang anak menjaga dirinya tetap aman, dan menolong mereka untuk tidak bergantung pada orang lain. Alat bantu penting untuk membantu anak-anak yang kehilangan penglihatan agar bisa bergerak dengan lebih percaya diri dan mandiri ketika dewasa nanti.
"Walau tongkat tidak selalu cocok untuk semua anak dan pemuda tunanetra, jika mereka diajarkan penggunaannya oleh spesialis, seharusnya tidak ada masalah penggunaannya di sekolah.
Sebaliknya, ia disarankan menggunakan tongkat yang lebih pendek -- yang menurut orang tuanya tidak cocok karena sudah terbiasa dengan tongkatnya saat ini.
Guru kepala SD Hambrook, Jo Dent, mengungkapkan, "Kami mempertimbangkan seluruh murid, sehingga penting bagi kita mencari kesempatan untuk mendiskusikan situasi sebelum membuat keputusan.
"Kami semua ingin menyelesaikan masalah ini secepat mungkin, dan secara aktif mencari cara mendekati orangtua untuk mencari keputusan yang disetujui semua pihak.
"Murid tidak dilarang membawa tongkatnya, kami hanya meminta mereka untuk tidak menggunakannya di sekolah sementara waktu, sampai kita bertemu orang tua dan mendiskusikan situasinya. Diharapkan akan terpecahkan dalan satu atau dua hari.
Tanggapan :
Menurut saya diskriminasi merupakan hal yang sangat tidak patut di contoh karena diskriminasi akan menyebabkan korban, yaitu kebanyakan anak-anak yang fisiknya tidak lengkap. Kita sebagai sesama manusia seharusnya membantu satu sama lain sehingga menciptakan rasa aman dan nyaman.
Seharusnya, kasus-kasus diskriminasi seperti ini tidak perlu. Kita sebagai masyarakat yang baik seharusnya menjunjung tinggi HAM(Hak Asasi Manusia). Perbedaan tentu banyak terjadi, tapi bukan berarti mereka yang berbeda dengan kita harus mendapatkan perlakuan diskriminasi yang tidak layak. Semoga kedepannya masyarakat dapat menjadi yang lebih baik, tanpa adanya diskriminasi dan etnosentris yang terjadi. Sekian dan terimakasih.
Sumber :
http://ilmusosialdasar-lintang.blogspot.co.id/2012/10/prasangka-diskriminasi-dan-etnosentrisme.html
http://global.liputan6.com/read/2368888/sekolah-larang-murid-tunanetra-bawa-tongkat-ke-sekolah

Agama, Konflik dan Masyarakat

Agama, Konflik dan Masyarakat
Secara sosiologis, Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia. Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
B.. Konflik yang ada dalam Agama dan Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia. Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992)
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998).
Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi (Jakarta : Pustaka Jaya, 1990), cet. XII.
Mukti Ali, A., “Dialog between Muslims and Christians in Indonesia and its Problems” dalam Al-Jami’ah, No. 4 Th. XI Djuli 1970.
Zainul Abas, HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA : TANTANGAN DAN HARAPAN. STAIN Surakarta.
http://herisantoso89.blogspot.co.id/2010/10/agama-konflik-dan-masyarakat.html